URGENSI PEMBARUAN KUHP NASIONAL

ROSSA ILMA SILFIAH
Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Yudharta Pasuruan
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai suku, ras dan pengikut beberapa agama yang telah mengalami sejarah panjang.Sebelum dijajah Belanda, bangsa Indonesia telah mengikuti Hukum Kebiasaan (Customary Law) yang kemudian diperkaya oleh Hukum Agama yang dipeluk masing-masing penduduk.Kemudian datang bangsa Eropa, khususnya Belanda yang menjajah Indonesia.Sebagai konsekuensinya Hukum Belanda juga mempengaruhi dalam tata kehidupan bangsa Indonesia, terutama dalam kehidupan formal yang berhubungan dengan negara dan pemerintahan maupun kasus-kasus yang diselesaikan melalui pengadilan.Tidak lama kemudian Indonesia pernah juga dijajah oleh Inggris dan Jepang dalam waktu yang tidak begitu lama, jika dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda.
Gambaran singkat tersebut, dapat dipahami adanya pluralitas sistem hukum yang berlaku di Indonesia, baik dari segi waktu, maupun jenis. Setidaknya ada tiga macam sistem hukum yang dianut oleh Bangsa Indonesia:
- Hukum Kebiasaan (Customary Law), hal ini dilihat dari segi pluralitas jenis masyarakat Indonesia yang terdiri dari bermacam etnik. Masyarakat Indonesia mempunyai sistem hukum yang berlaku sejak zaman primitif dari kebiasaan sampai dengan ketentuan yang diyakini bersama untuk dipatuhi. Dalam perkembangannya ketika bangsa Indonesia dijajah oleh Kolonial Belanda, hukum kebiasaan ini disebut dengan Hukum Adat.
- Hukum Agama, dengan banyaknya pemeluk agama yang berbeda-beda yang dianut di Indonesia, maka Hukum Agama selalu menjadi pegangan bagi penganutnya masing-masing, baik dijadikan sistem kehidupan maupun untuk mengatur hubungan antar sesama. Hukum agama datang seiring dengan masuknya Agama Islam dan agama lainnya ke Indonesia. Dikarenakan mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, maka jelas dan otomatis Hukum Islam telah mempengaruhi tata kehidupan masyarakat Indonesia. Namun juga harus dipahami, bahwa Hukum Islam mempunyai pengertian yang dinamis sebagai hukum yang harus menjawab perubahan social.
- Hukum Barat, merupakan hukum yang niscaya bagi bangsa Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda dalam kurun waktu kurang lebih 350 tahun. Inilah yang selanjutnya lazim disebut dengan Sistem Hukum Belanda atau Sistem Hukum Barat, ada pula yang menyebutnya dengan hukum sipil (Civil Law). Pengertiannya yang dinamis, Hukum Barat harus dipahami sebagai hukum dari luar, terutama pengaruh dari negara-negara maju sebagai konsekuensi hubungan internasional dan dalam perwujudan era globalisasi.
Perjalanan panjang Bangsa Indonesia menuju bangsa yang merdeka memberikan pengalaman tersendiri untuk mencari jati diri bangsa sesungguhnya.Jati diri bangsa yang terangkum dalam Pancasila merupakan konsensus nasional yang tidak bisa ditawar lagi.Pancasila merupakan falsafah bangsa Indonesia yang bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga pelaksanaan sila-sila selanjutnya harus berpedoman pada sila pertama ini.
Berpijak pada ungkapan Marcus Tullius Cicero Filosof Romawi yang menyatakan Ubi Societas Ubi Ius (di mana ada masyarakat, di situ ada hukum), maka setiap bangsa di seluruh dunia dipastikan mempunyai hukum atau setidaknya aturan sederhana untuk menertibkan antar individu dengan individu yang lain. Ungkapan M.T. Cicero yang lain, yaitu Ars Vitae atau “the art of life, yang berarti pengetahuan tentang hidup. Ungkapan ini tentunya berdasarkan pengamatan atas kehidupan bangsa-bangsa pada masa itu. Filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa tentunya berpatokan pada nilai-nilai yang baik, nantinya akan menjadi sumber dan rujukan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
KUHP yang saat ini berlaku berorientasi pada nilai-nilai individualism/liberalism, Sebuah ironi bagi bangsa yang sudah memproklamirkan sebagai bangsa yang merdeka sejak 17 Agustus 1945 berfalsafah Pancasila, selama ini masih memakai KUHP warisan Belanda. Menurut Utrecht, hukum yang belaku di daerah kekuasaan VOC adalah: Hukum Statuten van Batavia (1642), Hukum Belanda Kuno, Asas-asas Hukum Romawi. Hubungan Hukum Belanda yang kuno dengan Statuten van Batavia adalah sebagai pelengkap, jika statuta tidak bisa menyelesaikan masalah, maka Hukum Belanda kuno yang diterapkan.Sedangkan Hukum Romawi berlaku untuk mengatur kedudukan budak (Slaven Recht).
Pada tahun 1811 sampai tahun 1814, Indonesia pernah jatuh ke tangan Inggris.Tetapi berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas Koloni Belanda dikembalikan kepada Belanda. Agar tidak terjadi kesenjangan peraturan akibat peralihan kekuasaan, maka dikeluarkan Proklamasi 19 Agustus 1816, Stbl. 1816 Nomor 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua peraturan-peraturan bekas Pemerintah Inggris tetap dipertahankan. Pada saat itu Statuten van Batavian tetap berlaku, dan bagi Pribumi Hukum Adat Pidana masih diakui asal tidak bertentangan dengan asas-asas hukum yang diakui pemerintah, begitu pula peraturan perundang-undangan dari Pemerintah.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku bagi Golongan Eropa tersebut adalah salinan dari Code Penal yang berlaku di Negara Belanda.Tetapi berbeda dari sumbernya tersebut, yang berlaku di Indonesia terdiri dari 2 (dua) buku, sedangkan Code Penal terdiri dari 4 (empat) buku. Adapun Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku bagi Golongan Bumiputera juga sama dengan yang berlaku pada Golongan Eropa, tetapi sanksi untuk Golongan Bumiputera lebih berat.
Belanda secara terus menerus mengadakan perubahan-perubahan dengan usaha menciptakan KUHP Nasional, tetapi tidak kunjung berhasil.Pada akhirnya dengan KB tanggal 28 September 1870 dibentuklah Panitia Negara yang menyelesaikan rancangan pada Tahun 1875.Pada Tahun 1879 Menteri Smidt mengirim rancangan pada tersebut ke Twee-de Kamer.Diperdebatkan dalam Staten Generaal bersama Menteri Modderman yang sebelumnya Anggota Panitia Negara.Para tanggal 3 Maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru, dan berlaku mulai 1 September 1886.
Setelah berlakunya KUHP baru di Belanda, maka pada Tahun 1886 Pemerintah Belanda ingin merubah dualisme hukum yang berlaku di Hindia Belanda.KUHP Hindia Belanda 1866 (Golongan Belanda dan Eropa) dan 1872 (Golongan Timur Asing dan Bumiputera), diganti dan disesuaikan dengan KUHP Belanda yang baru. Berdasarkan Asas Konkordansi menurut Pasal 75 Regeling Reglement, dan Pasal 131 Indische Staatsregeling, maka KUHP Belanda yang baru juga harus diberlakukan di negeri jajahannya seperti Hindia Belanda dengan penyesuaian pada situasi dan kondisi setempat.
Pasca kemerdekaan, upaya Bangsa Indonesia melakukan pembaruan Hukum Nasional dilaksanakan pada Seminar Hukum Nasional I tahun 1963, Indonesia mulai meniti dan membenahi diri melalui upaya pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Saat itulah upaya pembaruan Hukum Pidana Nasional sangat diharapkan benar-benar mewakili peradaban masyarakat Indonesia yang sesungguhnya.Harapannya Pembaruan Hukum Pidana Nasional terkodifikasi dalam sebuah KUHP baru yang mencerminkan budaya Bangsa Indonesia.
Sebelum menjadi sebuah RUU KUHP, pembaruan hukum pidana nasional masih berupa konsep. Konsep I dimulai 1981 disusun oleh dua tim, Tim Pengkajian dan Tim Rancangan yang kemudian melebur menjadi satu tim Tim. Sebagai Pimpinan Tim yaitu Prof. Sudarto, SH., (meninggal 1986): Prof. Mr. Roeslan Saleh (meninggal 1988): Prof. Madjono Reksodiputro (1987-1993). Pada 13 Maret 1993 Tim Prof. Madjono Reksodiputro menyerahkan draft Rancangan KUHP kepada Menteri Kehakiman yang dijabat Ismail Saleh, SH. Tetapi draft ini berhenti dan direvisi kembali dengan Tim berikutnya tepatnya pada Tahun 2005 Tim generasi baru dengan semangat akademik dan kontekstual, yaitu Tim Prof. Barda Nawawi, Prof. Muladi, Prof Emong Komariah dan Dr. Muzakir.
Pasal-pasal yang ada dalam KUHP saat ini sebenarnya sudah mengalami perubahan, dan Pembaruan Hukum Pidana pertama kali di Indonesia adalah terkait Penodaan Agama, Pasal 156a KUHP ditambahkan pada Pasal 156 KUHP, dalam perkembangannya di Indonesia, secara materiil tetap sangat diperlukan. Persoalan agama sangat berkaitan dengan Dasar Negara Pancasila dan Konstitusi Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan pondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Keberadaan Tuhan Yang Maha Esa diakui oleh semua agama yang dianut di Indonesia, sehingga dalam pelaksanaan berbangsa dan bernegara harus selalu dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pasal 156a KUHP, diberlakukan berdasarkan UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Lembaran Negara No. 3 Tahun 1965, tertanggal 27 Januari 1965. Dalam konsideran dijelaskan tentang pertimbangan keluarnya PNPS ini, yaitu untuk mengamankan negara dan masyarakat, cita-cita Revolusi Nasional dan Pembangunan Nasional Semesta menuju masyarakat adil dan makmur.
Pasca kemerdekaan yang diiringi perubahan konstitusi sebanyak tiga kali, mulai UUD NRI 1945, berubah Konstitusi RIS, kemudian berganti dengan Konstitusi UUDS 1950, dan kembali kepada UUD NRI 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, menunjukkan ketidakstabilan bangsa saat itu. Dekrit tersebut mempertegas kembali, berlakunya UUD NRI 1945 dan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Penetapan Presiden adalah salah satu jenis (bentuk) peraturan perundang-undangan yang terbentuknya dilandasi oleh Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2262/HK/59 tentang Bentuk Peraturan-Peraturan Negara, bertanggal 20 Agustus 1959, yang dikirimkan oleh Presiden Soekarno kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam surat Presiden tersebut selain dinyatakan tiga peraturan negara yang secara tegas tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah, juga menetapkan adanya beberapa peraturan negara lainnya, antara lain sebagai berikut: “Disamping itu Pemerintah memandang perlu mengadakan beberapa Peraturan Negara lainnya, yakni: Penetapan Presiden, untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang “Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945”.
Pembaruan hukum pidana (Penal Reform) dapat diartikan sebagai upaya untuk mengganti tatanan hukum positif yang tidak sesuai dengan perubahan sosial dan aspirasi masyarakat dengan tatanan hukum baru yang dicita-citakan, sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan perkembangan zaman. Bagaimanapun, Kitab Undang-undang Hukum Pidana suatu negara merupakan ekspresi peradaban bagi negara yang bersangkutan.Penggantian tatanan hukum tersebut merupakan penggantian atau perubahan secara mendasar dan rasional.
Dengan mengacu kepada pengertian pembaruan hukum tersebut, Pembaruan Hukum Pidana merupakan upaya untuk mengganti tatanan Hukum Pidana Positif (Ius Constitutum) dengan tatanan hukum pidana yang dicita-citakan (Ius Constituendum). Yang pada akhirnya pembaruan hukum pidana (Penal Reform) harus secara nyata diwujudkan melalui kebijakan/politik hukum pidana (Penal Policy).
Hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri, yaitu suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politic, sosio-filosofic dan sosio-cultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Maka pembaruan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach).
Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dapat ditinjau dari tiga bagian: Pertama, sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial. Jika dikaitkan dengan tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama, maka ekspresi agama tidak luput dari kehidupan sosial setiap individu umat beragama.Sehingga keharmonisan antar umat beragama merupakan bagian dari kebijakan sosial.
Kedua, sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat. Dalam hal ini adalah upaya perlindungan terhadap umat beragama, sehingga dalam mengekspresikan agama, setiap umat beragama merasa aman dan hidmat tanpa adanya gangguan berupa kejahatan-kejahatan yang akan mengancam berlangsungnya kegiatan beragama.
Ketiga, sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum.Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum. Hubungannya dalam pembahasan ini, bagian ketiga ini merupakan bagian terpenting, karena penegakan hukum merupakan proses perubahan sekaligus legalisasi tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama.
Pembaruan hukum pidana di samping melakukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan juga dilakukan dengan pendekatan nilai (value-oriented approach).Pendekatan yang berorientasi pada nilai ini meliputi upaya melakukan peninjauan dan penilaian pada nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural yang melandasi muatan normatif dan substansif yang dicita-citakan (ius constituendum).
Kebijakan/politik hukum pidana (penal policy) dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana.Pengertian kebijakan hukum pidana dapat ditinjau dari sudut politik hukum yang mempunyai dua arti; pertama, usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi yang ada pada suatu saat.Kedua, kebijakan dari negara melalui badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Ditinjau dari sudut politik hukum ini, maka melaksanakan kebijakan hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan hukum pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Di samping itu, melaksanakan kebijakan hukum pidana dapat pula berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.