Bullying Dalam Narasi Pendidikan Perdamaian

Oleh: Dina Uswatun Khasanah
*Penulis adalah tenaga pendidik yang sedang menjalankanstudi di Program Magister PAI Multikultural Universitas Yudharta Pasuruan
_______________________________________________
Indonesia adalah negara kesatuan yang kaya dan beragam. Terdiri atas berbagai suku, agama, budaya, bahasa, adat istiadat, flora, fauna, kekayaan alam melimpah, keindahan alam yang mempesona, dan karena inilah Indonesia disebut dengan bangsa multikultural yang menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan sesuai dengan semboyannya yakni Bhineka Tunggal Ika. Sebagai bangsa yang kaya akan keanekaragamannya, tentu saja Indonesia tidak lepas dari berbagai konflik yang berusaha untuk memecah belah persatuan dan kesatuan apabila keanekaragaman tersebut tidak dikelola dengan baik. Untuk itulah, sebagai warga negara Indonesia sudah sepatutnya kita terus berupaya agar terhindar dari berbagai konflik dengan menanamkan nilai-nilai multikultural dalam kehidupan sehari-hari.
Multikultural berasal dari kata multi yang berarti banyak dan kultur yang berarti budaya. Multikultural merupakan sebuah pengakuan akan martabat manusia yang hidup di dalam komunitasnya dengan berbagai kebudayaannya yang unik (Choirul Mahfud:2009). Multikultural adalah pengakuan akan suatu keberadaan manusia yang beragam sehingga dengan demikian setiap individu merasa dihargai sekaligus bertanggungjawab untuk hidup bersama-sama (Kamal:2013). Dari pernyataan di atas bisa kita simpulkan bahwa multikultural adalah sebuah paham pengakuan akan kehidupan manusia dengan berbagai keberagamannya baik dari segi budaya, suku, agama, bahasa dan sesbagainya untuk hidup bersama-sama secara berdampingan.
Menanamkan nilai-nilai multikultural dalam kehidupan sehari-hari bisa dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menanamkan pendidikan perdamaian yang sudah diterapkan di lingkungansekolah. Kenapa harus pendidikan perdamaian? Karena pendidikan perdamaian sendiri berpengaruh dalam membentuk pola perilaku anak-anak.
Pendidikan perdamaian atau peace education adalah sebuah langkah baru dalam mengharmonisasikan kehidupan manusia ke dalam cita-cita perdamaian. Pendidikan ini digagas oleh gerakan sosial akibat memanasnya hubungan sosial kehidupan manusia akibat perbedaan pandangan, psikososial, etika, dan emosi yang bercampur dengan kepentingan manusia itu sendiri dan berujung pada konflik (Gross, 2017). Pendidikan ini mengupayakan pemahaman manusia yang diarahkan pada budaya damai dan berlandaskan kehidupan harmonis, menumbuhkan sikap toleransi,dan empati kepada orang lain. Hal inilah yang nantinya akan tumbuh menjadi interaksi sosial yang positif, baik dan menjadi tolak ukur untuk mengetahui nilai sikap yang dimiliki oleh seseorang. Namun, tentu saja perilaku seseorang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat seseorang tumbuh. Akan tetapi, perlu kita sadari apabila pendidikan perdamaian tersebut kurang bisa diterima, maka hal ini akan menimbulkan interaksi sosial yang negatif dan biasanya ditandai dengan adanya kasus bullying atau perundungan (Kamal, 2018).
Hasil penelitian mengenai pendidikan perdamaian ini menunjukkan bahwasannya ada tiga poin terkait hal tersebut yakni sebagai berikut:
- Menggunakan model pembelajaran konvensional dan mementingkan kemampuan kognitif
- Model pembelajaran pendidikan perdamaian yang dipraktikkan di kelas dapat mengurangi tingkat bullying dan menertibkan peserta didik yang biasanya mengacau
- Segi pelaksanaannya belum berjalan dengan efektif dikarenakan tidak semua peserta didik dapat merasakan nilai perdamaian yang dimaksud, karena sejatinya pendidikan perdamaian merupakan konsep yang sulit untuk dipahami.
Dari hasil penelitian tersebut, sebenarnya saya kurang mengerti terkait model pembelajaran pendidikan perdamaian yang diterapkan. Di sana hanya tertulis model pembelajaran konvensional yang bersifat monoton dan lebih mementingkan kemampuan kognitif namun dapat mengurangi tingkat bullying dan menertibkan peserta didik yang biasanya mengacau dan saya sangat setuju dengan hal tersebut. Untuk persoalan pelaksanaan yang belum sepenuhnya efektif karena tidak semua peserta didik dapat merasakan nilai perdamaian yang dimaksud dan jika dibiarkan, mereka hanya akan menerima teori tapi nihil dalam segi pemaknaan nilai dan praktiknya, saya mempunyai beberapa gagasan alternatif yang sekiranya bisa mengatasi hal tersebut.
Pertama, menerapkan diskusi dan kerja kelompok di setiap mata pelajaran. Hal ini sangat berpengaruh karena di sinilah siswa akan belajar akan nilai toleransi dan perdamaian secara langsung. Siswa akan dituntut untuk mengutarakan pendapat, saling menghargai, dan belajar bersikap cinta damai tanpa keributan ketika diskusi sedang berlangsung.
Kedua, seluruh warga sekolah harus saling membantu dalam mewujudkan nilai pendidikan perdamaian. Hal ini bisa diwujudkan dengan mengadakan konseling bagi setiap individu siswa (guru BK), wali kelas, guru dan pengurus kelas harus tetap cepat tanggap dan peka terhadap siswa yang punya masalah dan bermasalah.
Ketiga, wali kelas dan orang tua (keluarga) di rumah harus bekerjasama untuk mewujudkan dan menanamkan pendidikan perdamaian di rumah karena lingkungan tempat tumbuh anak sangat berperan penting dalam menentukan perilaku yang dimilikinya. Misalnya, dengan mengajak anak sharing tentang hal-hal kecil seperti “bagaimana sekolahmu hari ini? Apakah pelajarannya menyenangkan?”. Dengan pertanyaan ringan inilah yang berdampak besar pada pola perilaku anak. Anak akan merasa bahwa ia diperhatikan, dicintai, diperdulikan, dan diajak diskusi secara ringan namun bermakna, yang mana nanti akan berpengaruh pada suasana pikiran dan hatinya. Anak juga akan belajar saling menghargai dan saling memperdulikan satu sama lainnya. Hal lain yang turut serta menciptakan lingkungan damai dalam keluarga adalah dengan tidak bertengkar di hadapan anak (untuk orang tua). Seringkali kita temukan anak yang bermasalah, cenderung membully temannya, mengacau di kelas karena ia kerap kali melihat dan mendengar pertengkaran dalam keluarganya. Hal inilah yang secara tidak langsung akan merusak konsep “damai’ dalam pola pikirnya dan berdampak pada perilakunya di tempat lain. Jadi, menurut saya keluarga mempunyai peranan penting dalam menanamkan pendidikan perdamaian yang sesungguhnya.
Keempat, pihak sekolah maupun masyarakat bisa mengadakan seminar terkait perdamaian, khususnya tentang bullyingdemi mengurangi dan mencegah kasus bullying. Berbicara kasus bullying, pada tahun 2016 UNICEF menempatkan Indonesia sebagai negara pertama dengan kasus kekerasan pada anak tertinggi di ASEAN. Bullying meliputi perundungan verbal, sexual harassement, cyber bullying, perundungan fisik like body shamming, dan perundungan sosial. Sering kali kita temukan berbagai macam kasus bullying dan tidak jarang pelaku bullying tidak diberikan hukuman yang sesuai dengan kesalahannya. Akibatnya, kasus bullying semakin menjadi-jadi.
Selain itu, pihak sekolah juga bisa bekerjasama dengan komunitas perdamaian, komunitas anti bullying, maupun UNICEF untuk mencegah bullying. Seminar bukan hanya diperuntukkan bagi siswa saja, melainkan juga bagi keluarga dan lapisan masyarakatkarena mereka juga perlu edukasi terkait kasus ini dan pendidikan perdamaian.
Dari keempat poin gagasan diatas, memang tidak sepenuhnya mampu mengatasi dan menghilangkan kasus bullying namun bisa untuk mengurangi kasus tersebut dan bisa menjadi cara untuk menanamkandan menciptakan sebuah lingkungan yang damai. Mungkin kasus bullying memang sudah banyak terjadi dimana-mana, namun jika kita bekerjasama untuk memerangi kasus ini, tentu suatu lingkungan yang penuh perdamaian akan terwujud.