PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) BERBASIS MULTIKULTURAL

Oleh : Imam Jayadi
Pelajaran PAI di sekolah secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Hal ini dimaksudkan agar dapat menghasilkan peserta didik yang memiliki kepribadian utuh dan terintegrasi, serta jangan sampai menjadi pribadi yang terpecah belah. PAI yang utuh dan bulat itu meliputi al-Qur’an/al-Hadits, keimanan, akhlak, fiqh/ibadah, dan tarikh. Ini sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup PAI mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT. dengan diri sendiri, sesama, makhluk lainnya, dan alam Lingkunganya.
Dengan demikian materi Pendidikan Agama Islam (PAI) hendaknya pula benar-benar memperhatikan nilai-nilai pluralis, toleran, humanis, egalitarian, aktual, transformatif, dan inklusif. Adapun watak inklusif Islam, seperti dikemukakan oleh Nurcholish Madjid adalah pikiran bahwa yang dikehendaki Islam adalah suatu sistem yang menguntungkan semua orang termasuk mereka yang non Muslim. Pandangan ini, menurut Nurcholis Madjid telah memperoleh dukungannya dalam sejarah Islam itu sendiri. Atau mengambil legitimasi dari al-Qur’an bahwa Islam pada hakikatnya sebagaimana peran, fungsi dan eksistensi Rasulullah SAW. sendiri merupakan rahmatan lil alamin, maka kasih sayang Islam seharusnya untuk semua mahluk yang ada di bumi.
Dengan harapan tersebut sudah seharusnya Pendidikan Agama Islam tanggap dalam memberikan tawaran kurikulum serta muatan materi ajar yang mampu menjawab berbagai keinginan tersebut. Hal demikian itu karena pada dasarnya kurikulum merupakan suatu produk yang lahir dari dan berdasarkan kondisi riil dalam masyarakat dan sedikit banyak mampu mengakomodir keinginan masyarakat pemakai kurikulum, sehingga target dan cita-cita yang ingin dicapai oleh Pendidikan Agama Islam itu sendiri adalah sesuai apa yang diharapkan masyarakat, yakni mencetak peserta didik yang bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlakul karimah
Agama Islam dalam kaitannya dengan nilai-nilai toleransi idealnya mampu mencegah semangat eksklusivisme. Untuk itu, pola interaksi antar masyarakat dari berbagai macam latar belakang agama, bangsa, etnis dan kultur berbeda setidaknya mendapatkan porsinya yang proporsional. Pendidikan multikultural membantu siswa mengerti, menerima, dan menghargai orang dari suku, budaya, nilai, dan agama berbeda sehingga tumbuh sikap saling menghargai perbedaan dan dapat hidup saling berdampingan satu dengan yang lain
Karena itu perlu upaya membangun kesadaran siswa agar bertoleransi di sekolah melalui pendidikan multikultural. Harapan ini sesuai dengan tujuan pendidikan agama Islam adalah sebagai upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utama kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan serta penggunaan pengalaman. Dibarengi tuntunan untuk menghargai penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama.
Pendidkan Agama Islam
Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis multikultural diharapkan mampu memberi solusi, agar terjadi rasa saling menghormati, saling menghargai, meningkatkan rasa kebersamaan sebagai salah satu bangsa, tanpa harus mengusik keyakinan masing-masing. Upaya menjaga kerukunan melalui Pendidikan Agama Islam berbasis multikultural harus diimplementasikan dan bukan hanya sekedar wacana. Artinya kurikulum di satuan pendidikan khususnya di mata pelajaran agama Islam harus bisa paling tidak menjadikan pendidikan agama Islam berbasis multikultural sebagai satu indikator yang dalam pelaksanaannya tidak hanya melihat aspek kognitif tetapi justru harus lebih menekankan pada sisi afektif yaitu bagaimana siswa merefleksikan pemahamannya akan keragaman ini dalam kehidupan kesehariannya. Selain itu diperlukan metode yang tepat dalam rangka penanaman nilai-nilai multikultural dalam pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Ada beberapa pembelajaran yang harus di fokuskan guru agama pada peserta didik sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Hatimah, dkk. Adapun Tujuan Pendidikan Multikultural antara lain.
- Pembelajaran Perdamaian
Javier Perez (Tilaar: 2000) mengungkapkan bahwa perdamaian harus dimulai dari diri kita masing-masing. Melalui pemikiran yang tenang dan sungguh-sungguh tentang maknanya, maka cara-cara baru dan kreatif dapat ditemukan untuk mengembangkan pengertian, persahabatan dan kerja sama antara semua manusia. Suatu kebudayaan perdamaian di perlukan untuk kehidupan bersama yang bermakna. Di dalam kehidupan yang beragam dalam tata cara pribadi, social dan budaya tentang keberadaan dan kehidupan, maka pemikiran nilai-nilai manusia yang penting dapat mengatasi perbedaan-perbedaan untuk menjamin perdamaian dan solidaritas.
- Pembelajaran Hak Asasi Manusia
Semua hak manusia adalah universal, tak terbagi, interdependen dan saling terkait. Pendidikan adalah alat yang paling efektif untuk pengembangan nilai-nilai yang berhubungan dengan hak-hak asasi manusia. Pendidikan hak-hak asasi manusia haruslah mengembangkan kemampuan untuk menilai kebebasan pemikiran, kata hati dan keyakinan, kemampuan untuk menilai kesamaan, keadilan dan cinta, dan suatu kemauan untuk mengasuh dan melindungi hak-hak anak, kaum wanita, kaum pekerja, minoritas etnik, kelompok-kelompok yang tidak beruntung.
- Pembelajaran Demokrasi
Pembelajaran untuk demokrasi pada hakekatnya adalah untuk mengembangkan eksistensi manusia dengan jalan mengilhaminya dalam pengertian martabat dan persamaan, saling mempercayai, toleransi, penghargaan pada kepercayaan dan kebudayaan orang lain, penghormatan pada individu, peran serta aktif dalam semua aspek kehidupan social, kebebasan berekspresi, kepercayaan dan beribadat. Apabila hal-hal tersebut sudah ada, maka dapat digunakan untuk mengembangkan pengambilan keputusan yang efektif, demokratis pada semua tingkatan yang akan mengarah pada kewajaran, keadilan dan perdamaian.

Konsep islam tentang multikutural
Semua masyarakat menyadari bahwa keberagaman itu adalah sebuah keniscayaan. Tapi pembahasan tentang bagaimana menyikapi multikultural ini yang masih terjadi perdebatan. Bagi sebagian kelompok perbedaan-perbedaan yang ada agar segera dilenyapkan dan perlu adanya upaya untuk penyeragaman. Ada juga yang berstatement agar perbedaan yang ada itu tetap dipelihara.
Islam sebagai suatu ajaran tentang kehidupan manusia merupakan suatu pandangan yang tidak dapat diperdebatkan lagi di kalangan kaum muslim. Akan tetapi, bagaimana Islam difahami dan diterapkan oleh pemeluknya dalam kehidupan, dalam kontek inilah, terletak persoalan yang sebenarnya. Karena Islam sebagai ajaran itu satu (tunggal) tetapi polyinterpretable (pemahaman terhadap Islam itu beragam).6
Multikulturalisme yang bermakna penghargaan dan pengakuan terhadap budaya lain, secara normatif dapat dibenarkan keberadaannya. Multikulturalisme dalam Islam dapat dirujukkan minimal dari tiga kategori, yakni petama perspektif teologis, kedua perspektif historis dan ketiga perspektif sosiologis.7
1. Multikulturalisme dalam Perspektif Teologis
Islam dapat ditemukan dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an. Sebagaimana kita ketahui bahwa kemajemukan yang ada di dunia ini adalah sebuah kenyataan yang sudah menjadi sunnatullah (ketentuan Allah). Di dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat:13 Allah menyebutnya bahwa kemajemukan adalah kehendakknya.
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
2. Multikulturalisme dalam Perspektif Historis
Dalam perspektif ini dapat dirujuk langsung oleh sistem kenegaraan yang diterapkan Nabi Muhammad SAW dengan Piagam Madinahnya. Piagam Madinah ini adalah konsesi atas Hijrah Nabi Muhammad SAW pada tahun 622 Masehi yang menemukan kondisi sosiologis Madinah berbeda dengan di Makkah. Sebelum hijrah, Nabi memulainya dengan membuat Perjanjian Aqabah (bai’at al- ‘aqabah). Baiat adalah transaksi, seperti jual beli. Artinya, dalam perjanjian ada transaksi seperti jual dagang, berkompromi sampai pada yang disepakati. Kalau model baiat sekarang dipaksakan oleh guru dan secara membabi buta. Dahulu baiat didasarkan pada konsensus dan bargaining untuk saling mendapatkan. Dalam Perjanjian Aqabah pada tahun 621 M disebutkan bahwa orang-orang Madinah akan bersedia menerima Nabi dan sahabatnya untuk berhijrah ke Madinah dengan jaminan Nabi bisa dipercaya menjadi rekonsiliator untuk menegakkan konflik kesukuan (tribal) yang tidak ada habisnya. Karena semua menjadi bagian dari konflik, maka tidak ada yang memiliki otoritas untuk menyelesaikan. Seperti halnya yang terjadi di Papua, antar suku sudah menjadi bagian konflik, tidak ada yang bisa menyelesaikan. Dalam perspektif antropologi perlu adanya outsider essential yang akan menyelesaikan konflik-konflik itu. Dan kabilah-kabilah di Madinah menerima Nabi tetapi dengan jaminan Nabi harus memerankan diri sebagai hakim yang adil dan bisa menengahi konflik antar suku karena mereka juga lelah.

Orang-orang yang terikat dalam perjanjian tersebut disebut sebagai ”umat”. Umat adalah siapapun yang ikut dalam semua kesepakatan atau perjanjian Piagam Madinah, termasuk di dalamnya adalah Nabi. Siapapun yang diserang akan dibela dan siapapun yang berkhianat akan diserang. Karena itu, pada zaman Nabi tidak ada yang menyerang kecuali dia berkhianat. Piagam Madinah disusun dalam posisi yang sama, hidup, kehormatan dan kehendak mencapai kebahagiaan menjadi jaminan dalam piagam tersebut.9
Konsep yang sekarang banyak diwacanakan oleh banyak ahli adalah kurikulum pendidikan berbasis pluralisme. Pendidikan Islam berbasis pluralisme yang mempunyai beberapa karakter sebagai berikut:
- Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan umum yang bercirikan Islam.
- Pendidikan Islam juga harus mempunyai karakter sebagai pendidikan yang berbasis pada pluralitas.
- Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan yang menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan. Proses belajar yang dikembangkan harus berdasarkan proses yang memiliki tingkat dengan kenyataan sosial. Artinya, proses belajar yang mengandalkan siswa belajar individualistis harus ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi positif.
- Evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, penggunaan alternatif assesment (portfolio, catatan, observasi, wawancara) dapat digunakan.
- Di samping perlunya memperhatikan langkah-langkah itu, untuk menuju sebuah PAI yang menghargai pluralisme.
Sebenarnya selain aspek kurikulum yang harus didesain,. Pola-pola lama dalam pendekatan atau pengajaran agama harus segera dirubah dengan model baru yang lebih mengalir dan komunikatif. Aspek perbedaan harus menjadi titik tekan dari setiap pendidik.
Bentuk kurikulum dalam pendidikan agama Islam hendaknya tidak lagi ditujukan pada siswa secara individu menurut agama yang dianutnya, melainkan secara kolektif dan berdasarkan kepentingan bersama. Bila selama ini setiap siswa memperoleh pelajaran agama sesuai dengan agamanya, maka diusulkan agar lebih baik bila setiap siswa SLTP-PT memperoleh materi agama yang sama, yaitu berisi tentang sejarah pertumbuhan semua agama yang berkembang di Indonesia. Sedangkan untuk SD diganti dengan pendidikan budi pekerti yang lebih menanamkan nilai-nilai moral kemanusiaan dan kebaikan secara universal. Dengan materi seperti itu, di samping siswa dapat menentukan agamanya sendiri (bukan berdasarkan keturunan), juga dapat belajar memahami pluralitas berdasarkan nalar kritisnya, mengajarkan keterbukaan, toleran, dan tidak eklusif, tapi inklusif.
DAFTAR PUSTAKA
Nurcholis Madjid, Cendekiawan dan Relegiusitas Masyarakat: Kolom-kolom di Tabloid Tekad, Cet. 2, (Jakarta: Tabloid Tekad & Paramedina, 2009)
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008),
Zakiyuddin Baidhawi, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga, 2005),
Hatimah, dkk, Pendidikan Berwawasan Kemasyarakatan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007),
Yudi Latif, Tafsir Sosiologis atas Piagam Madinah, dalam “Islam, HAM, dan Keindonesiaan Refleksi dan Agenda Aksi untuk Pendidikan Agama”, di MAARIF Institute for Culture and Humanity, Jakarta, 23 Mei 2007. Darmaningtyas, Pendidikan Pada Dan Setelah Krisis, (Yogyakarta: 1999)