Kurikulum Gender

Oleh: M. Nur Zuhri Fauzi*
Prolog
Kunci dari terwujudnya keadilan gender didalam masyarakat adalah pendidikan, karena pendidikan adalah alat untuk metransfer nilai-nilai norma masyarakat, pengetahuan dan kemampuan masyarakat termasuk nilai gender. Oleh karena itu dalam lembaga pendidikan perlu adanya keadilan gender. Di dunia pendidikan laki-laki masih unggul diatas perempuan, karena hal tersebut menyebabkan masyarakat beranggapan naka-anak perempuan mereka tidak usah melanjutkan sekolah, lebih baik langsung dinikahkan, dan menganggap setinggi-tinggi pendidikan perempuan pasti hanya akan menjadi ibu rumah tangga. Membaca realitas tersebut perlu bagi kalangan pendidikan alternative untuk mengembangkan program pendidikan berbasis kesetaraan gender.
Tentang Kurikulum Gender
Pendidikan bukan hanya penting bagi laki-laki tapi juga perempuan, karena perempuan akan menjadi pendidik utama di dalam keluarga. Perempuan berwawasan akan mampu melindungi keluarga dari ancaman permasalahan sosial, kekerasan dan permasalaha ekonomi. Dengan adanya keseimbangan kesempatan laki-laki dan perempuan dalam pendidikan maka pembangunan berorientasi pada peningkatan sumberdaya manusia sebagai operator pembangunan akan tercapai. Hal ini sudah diterukur dalam Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). (Masitah: 195, (2017))
Diskusi tentang gender di era ini, semakin merebak. Diskusi itu setidaknya dalam dasawarsa sepuluh tahun terakhir ini, telah mewarnai dunia publik. Namun masih sering terjadi kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud gender, terutama bila dikaitkan dengan konsep gender dalam perspektif Islam. Lebih dari itu, konsep gender dan tulisan-tulisan tentangnya berdasarkan kajian tafsir Al-Qur’an masih langka ditemukan. Padahal diyakini bahwa, Al-Qur’an adalah kitab suci yang sifatnya universal, mencakup berbagai masalah, termasuk masalah gender. Bebarapa kasus ketimpangan gender yang pernah terjadi, diantaranya;
Pertama, sebagian orang atau kelompok menganggap perempuan itu lemah dalam hal apapun meskipun tidak benar adanya. Ini dibuktikan salah satu presiden Indonesia yang terdahulu adalah perempuan. Seperti di dalam al Qur’an surat An-Nisa’ ayat 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diriketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (QS. An – Nisa’ 4 : 34)
Diantara tugas kaum laki-laki adalah melindungi kaum perempuan. Ini sebabnya, peperangan hanya diwajibkan kepada laki-laki, tidak kepada kaum perempuan. Begitu pula tugas menafkahi jeluarga. Peperangan merupakan suatu urusan melindungi bangsa dan negara. Inilah yang menjadi dasar , mengapa kaum laki-laki memperoleh bagian yang lebih banyak dalam harta warisan. Tapi diluar hak-hak yang disebutkan (hak mengendalikan, menuntut, dan memimpin) maka dalam masalah hak atau kewajiban yang lain, laki-laki dan perempuan adalah sama.
Derajat yang dimiliki laki-laki adalah memimpin dan mengurus rumah tangga. Isteri mengurus rumah tangga dengan bebas, asal dalam batas-batas yang ditetapkan syara’ dan diridhai (disetujui) oleh suami. Isteri memelihara rumah, mengendalikannya dan memelihara serta mendidik anak-anak, termasuk membelanjakan nafkah keluarga sesuai dengan kemampuan. Dibawah naungan suami, isteri bisa menjalankan tugasnya, mengandung dan mengyusui bayinya.
Kedua, Pemikiran “sepintar apapun perempuan, setinggi apapun pendidikan perempuan pada akhirnya kembali ke dapur” hal ini harus dirubah. Saya sangat setuju dengan pendidikan kurikulum gender karena hal itu sangat penting.
Keadilan gender sudah menjadi keharusan zaman. Setidaknya upaya itu telah dilakukan melalui berbagai diskursus hampir di semua belahan dunia. Di Indonesia juga telah diupayakan sejak tahun 1978 hingga sekarang yaitu dengan adanya sebuah institusi pemerintah yang kini bernama KPP & PA. Di berbagai perguruan tinggi seperti pusat pusat kajian wanita atau kajian gender pun tak ketinggalan. Akan tetapi nampaknya masih saja ada benturan sehingga sulit untuk diwujudkan jika wacana publik yang antara lain dipengaruhi oleh pemahaman terhadap teks-teks keagamaan tidak berperspektif gender. Keadilan merupakan gagasan paling sentral sekaligus tujuan tertinggi yang diajarkan oleh setiap agama dalam upaya meraih citacita, harapan dan dambaan setiap insan dalam segenap aspek kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. (Subhan, Z: 1 (2012)).
Ketiga, kekerasan, Sering terjadi pelecehan-pelecahan yang dilakukan laki-laki terhadap wanita, yang menyebabkan adalah penganggapan seorang laki-laki bahwasannya tenaga perempuan lebih lemah dari laki-laki, meskipun tidak semua wanita seperti itu.
Keempat, beban ganda. Yang dimaksud beban ganda disini adalah perempuan biasanya melakukan pekerjaan ganda. Selain menjadi ibu rumah tangga mereka juga bekerja yang seharusnya dilakukan oleh suaminya.
Dalam kandungan surat Ali Imron ayat 36 ada tiga hal yang patut di garis bawahi. Pertama, perempuan pada umumnya dianugerahkan untuk menjadi taat, bukan saja taat kepada Allah, tetapi kelak ia harus taat pada suaminya, dan memiliki tanggung jawab terhadap anak-anak dan keluarganya. Kedua, perempuan pada umumnya, dominan memiliki kekecewaan yang amat tinggi ketika hasratnya tidak tercapai, namun bila ia senantiasa mempertahankan ketaatannya, maka kekecewaan itu dapat teratasi. Ketiga, perempuan tetap memiliki rasa optimis, dan yang demikian ini harus dipertahankan. Dengan rasa dan sikap optimis, diyakini kaum perempuan bisa maju, dan sejajar, bahkan boleh jadi lebih unggul dari kaum laki-laki dalam menjalankan segala aktivitasnya.
Tiga hal yang dimiliki oleh perempuan seperti yang disebutkan di atas juga dimiliki oleh kaum laki-laki, dan karena itu baik laki-laki dan perempuan harus berusaha menanamkan, mempertahankan, dan mengembangkan ketiga aspek tersebut. Namun dalam kenyataannya, bila ketiga aspek tadi tidak bisa disanggupi oleh perempuan, misalnya ia tidak mampu taat pada suami, atau karena mungkin dia kecewa, dan menghilangkan optimismenya, maka jelasnya bahwa dia berbeda dengan laki, dan inilah yang dipahami dari klausa. Lebih dari itu, secara khusus lagi justru ada tiga aspek yang dimiliki perempuan, namun tidak pada laki-laki, yakni mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ketiga aspek inilah juga yang bisa juga dipahami membedakan laki-laki dan perempuan sebagaimana yang terinterpretasi dalam klausa ayat tadi.
Kurikulum gender menurut Khusnul Khotimah (jurnal pemikiran alternatif pendidikan: 2008):
- Memasukkan problem-problem multikultural (fokus: gender) dalam kurikulum
- Menyelipkan materi multikultural (fokus: gender)
- Visi misi mengandung multikultural
- Pelajaran khusus tentang multikultural (fokus: gender)
Epilog
Permasalah gender terjadi karena beberapa sebab yaitu sebagian orang atau kelompok menganggap perempuan itu lemah dalam hal apapun meskipun tidak benar adanya, Pemikiran “sepintar apapun perempuan, setinggi apapun pendidikan perempuan pada akhirnya kembali ke dapur”, Kekerasan, Beban ganda. Oleh karena itu perlu adanya kurikulum gender seperti, Memasukkan problem-problem multikultural (fokus: gender) dalam kurikulum, Menyelipkan materi multikultural (fokus: gender), Visi misi mengandung multikultural, Pelajaran khusus tentang multikultural (fokus: gender).
*Penulis adalah tenaga pendidik. Saat ini sedang melanjutkan studi di Program Magister PAI Multikultural Universitas Yudharta
